Greetings :)

What'd You Like To See?

Thursday, 29 September 2016

Trip to Malang (Part 1: The Suffers)

Suka duka dan cerita yang tak terlupakan ketika masa SMA berakhir  



   Bel tanda pulang berdering, deringannya terdengar sangat menyenangkan bagi siswa SMA Negeri 97 yang mendengarnya. Yap, bel tersebut berdering karena waktu ujian sudah habis. Bukan sekedar ujian biasa, melainkan ujian yang sangat fenomenal serta merupakan titik puncak dari perjuangan siswa siswi kelas 12 SMA, tepatnya Ujian Nasional atau disingkat UN. Gue pun mengakhiri UN dengan berdoa, tanda bersyukur karena dapat mengerjakan soal tanpa kendala dan berharap agar hasil ujian nanti dapat melukis senyuman bahagia di wajah gue. Murid-murid berhamburan keluar kelas, ingin merayakan kebebasan serta ingin melepas beban pikiran yang telah menghantui mereka selama beberapa bulan terakhir. Ada yang berfoto bersama, menyalami guru-guru, bahkan ada yang sudah melakukan aksi corat-coret baju menggunakan cat semprot pada hari Kamis yang monumental itu. Kalau gue sih hanya sekedar ngobrol aja dengan teman, membahas kesibukan apa yang akan dilakukan nanti setelah UN. Kebanyakan dari mereka ingin mempersiapkan diri mengikuti tes ujian masuk PTN atau seringkali disebut SBMPTN. Memang, tes ujian tersebut sering digembor-gemborkan orang sebagai tes yang amat sangat sulit, tingkat kesulitannya saja 3 kali lipat dari UN, sehingga banyak orang yang berjuang mati-matian di tes ini agar bisa lolos masuk PTN yang mereka idamkan.

     Ponsel gue berdering, ada beberapa pesan masuk dari grup teman teman dekat gue sewaktu SMP yang terdiri dari Nadila, Nisrina, Emira, dan Hasya. Mereka mengundang gue buat "rapat khusus" (yang entah akan membahas tentang apa) di basecamp tim kita, alias rumah Emira. Karena penasaran, gue segera menyusul mereka yang sudah berkumpul sejak UN tadi berakhir.

"Lama banget lo Ray,ampe laper kita nungguin lo, lo bawa makanan ngga?" 
"Et bacot banget lu, Dil, lu kira deket apa sekolah gue sampe sini, nih ada bekel tadi sisaan gua makan" 

     Begitulah kira-kira percakapan yang menyambut gue sesampainya gue di rumah Emira.

"Kenapa sih emang tau-tau nyuruh ngumpul gini?", gue penasaran
"Gini loh, tadi kita abis diskusiin rencana trip kita yang bakal kita kerjain abis UN, inget kan?"
"Oh gue inget, rencana kita mau ke Malang kan? Emang fix jadi?"
"Ya jadi lah, masa iya cuma wacana doang, kalah kita nanti sama geng sebelah", Emira menyambar

     Disana, kita membahas rencana trip to Malang agar terlaksana dengan baik. Gue merasa amat sangat bersemangat, karena ini kali pertama gue akan mengunjungi tanah Jawa. Mohon maklum, gue liburan di Pulau Jawa tidak pernah lebih jauh dari daerah Jawa Barat. Kita membahas semuanya dengan matang, mulai dari transportasi, penginapan, tempat wisata yang akan dikunjungi, estimasi biaya, hingga persiapan dan pembagian tugas agar tidak ada komplikasi, kami pun setuju untuk berangkat pada hari Minggu dan pulang pada hari Jumat sore. Gue sama Nadila kebagian tugas buat beli tiket kereta api untuk PP (Pulang-Pergi) dan menagih uang untuk membeli tiket kepada yang lainnya. Setelah uangnya terkumpul, kita pergi ke ticketbox untuk memesan tiket kereta api Matarmaja kelas ekonomi dengan estimasi perjalanan 17 jam sejumlah 5 tiket. Maklumi saja, kami sebagai pelajar sangat mencintai hal-hal yang murah, bahkan sampai rela berada di kereta ekonomi dengan estimasi perjalanan yang sangat lama. Emira bertugas mencari akomodasi dan transportasi serta penginapan nanti di Malang, Nisrina bertugas sebagai dokumentasi, dan Hasya bertugas sebagai tim hore. Semua persiapan sudah selesai, tiket sudah dibeli, akomodasi sudah diurus, hanya tinggal packing barang yang akan dibawa saja dan mencetak tiket di stasiun. Hari itu sungguh melelahkan.

     Esok paginya hp gue bunyi, ada pesan dari grup les bimbel gue yang isinya menginformasikan kalau kelas khusus intensif SBMPTN sudah dimulai pada hari itu. Gue terkejut dan langsung cepat-cepat bergegas karena gue udah terlambat, tentunya jika terlambat akan mendapatkan konsekuensi. Sesampainya gue di kelas bimbel, ternyata gue diberi selebaran kertas pengumuman yang berupa info dan tata tertib selama kelas intensif SBMPTN berlangsung. Beberapa poin tata tertib memang sudah tidak asing didengar, tetapi ada satu poin yang bikin gue shock, kaget, panik. Poin tersebut berisikan peraturan bahwa, jika siswa/i tidak mengikuti lebih dari 5 kelas, siswa/i tersebut dianggap mengundurkan diri (kecuali sakit disertakan surat izin dokter dan acara keluarga). Yang bikin gue shock, minggu depan gue kan ke Malang dari Senin sampai Jumat, setau gue, sehari ada 2 kelas, berarti selama ke Malang gue skip sebanyak 10 kelas, berarti gue nanti di drop out  dong?? Gua panik sejadi-jadinya orang panik, gue bingung gue harus apa, yang bikin gue bimbang lagi, bimbel ini termasuk yang "tidak murah", berarti sia-sia dong gue bayar tapi malah di drop out? Di posisi ini gue lagi galau banget, gue jadinya curhat ke salah satu pengajar di bimbel gue.

"Kak, saya harus gimana ya kak, saya bingung, ini rencana terakhir sama temen-temen sebelum pada mencar nanti kuliah dan yang pastinya sibuk, di sisi lain, saya membayangkan saya di DO padahal orangtua saya sudah membayar dengan nominal yang enggak sedikit", gue mengeluh setelah gue cerita tentang rencana gue ke Malang
"Coba kamu tanya ke wali kelas kamu, bisa ngga minta izin selama 5 hari?"
"Tadi saya udah coba tanya kak, tapi enggak diizinin, saya harus apa kak"
"Waduh kakak ngga tau lagi sih, soalnya kakak ngga punya kewenangan disini, coba kamu koordinasikan sama orang tua kamu"


     Mendengar jawaban guru gua yang belum memecahkan masalah itu membuat gue semakin galau, gue cerita tuh sama temen temen gue, nah mendengar kabar gue yang lagi di posisi seperti ini, mereka merasa kecewa dan dengan nekat, Hasya, Nadila, dan Nisrina datengin gue ke tempat les, kita diskusiin di Rumah Makan Jadoel di samping bimbel. Setelah gue ceritain dari awal, mereka yang tidak sabaran ini justru menjadi marah, terutama Hasya. Hasya dengan gegabahnya menghampiri bagian kepala cabang bimbel gue, dan berusaha membicarakan masalah ini dengan nada yang terkesan tidak berkenan di hati.


"Kak, saya minta kejelasan dari pihak bimbel, saya perwakilan dari teman-teman Rayhan yang sudah merencanakan kegiatan ini dari jauh jauh hari sebelum UN, masa iya ngga boleh dikasih waktu buat refreshing sebentar kak?", tanya Hasya dengan tidak sabarnya.
"Ini kan sudah masuk program intensif SBMPTN, ya tentu harus lebih fokus lagi untuk persiapan materi SBMPTN ini, mengingat ujian ini merupakan ujian yang dapat dibilang cukup sulit, ngga ada lagi waktu buat refreshing dulu, yang penting biar semua dapet PTN impiannya, baru bisa senang-senang", ucap si Kakak.
"Tapi kak, saya sudah mendapatkan izin dari orang tua saya untuk pergi kak, masa iya Kakak ngga ngizinin, orang tua kandung saya aja udah ngizinin kak", sambung gue.
"Coba deh kamu pilih temen-temen kamu atau persiapan SBMPTN? Coba pikir hal paling buruknya. Apa iya kalo kamu pilih temen-temen kamu, nanti disaat pengumuman MISALNYA kamu sendiri yang ngga dapet PTN tapi temen-temen kamu dapet? Temen-temen kamu bisa ngga ngajak kamu buat masuk PTN mereka? Ngga kan?", jawab Kakak pihak bimbel dengan kalimat yang menusuk

     Ya, begitulah kira-kira awalan dari percakapan kita bertiga di ruang diskusi yang berujung si Kakak ini tetep kekeuh tidak mengizinkan gue untuk pergi ke Malang. Gue semakin bingung, apa yang harus gue lakuin di situasi dan kondisi seperti ini? Akhirnya gue sama Hasya kembali lagi ke tempat ktia ngumpul tadi yaitu di Rumah Makan Jadoel. Gue duduk dengan wajah yang sangat lesu dan putus asa,disaat temen-temen gue marah dan memaksa gue buat tetap ikut ke Malang, tetapi yang gue pikirkan pada saat itu adalah konsekuensi yang 'dianggap mengundurkan diri'. Coba saja bayangkan, orang tua gue yang sudah mati-matian buat biayain gue bimbel, gue sia-siain hanya demi liburan ke Malang ini. Tentu gue sangat sedih hanya dengan membayangkannya saja, apalagi menerima kenyataannya nanti. Disaat temen-temen gue yang gegabah dan menggerutu mulu, gue hanya membenamkan kepala di tangan gue yang posisinya dilipat diatas meja. Gue pusing. Nadila hanya mengomel saja kerjaannya. Nisrina berpikir mencari solusi. Hasya? Dia malah Snapchat -in gue yang lagi galau dengan hebohnya. Gue bener-bener ngga tau apa yang harus dilakukan pada saat seperti itu, tidak lama kemudian, gue terisak, mata gue netesin air mata. Memang. Memang sifat gue yang suka cengeng dan melankolis ini mewakili emosi gue pada saat itu. Terbayang perjuangan orang tua gue untuk membiayai bimbel gue ini, perjuangan gue yang hampir setiap hari, sejak pagi hingga malam terus-terusan belajar, serta ketidak-masuk-akalan pihak bimbel gue ini yang tidak memberi gue sedikitpun istirahat sejenak. Gue bahkan tidak memperdulikan sama sekali orang-orang di rumah makan tersebut yang mayoritas berisikan siswa siswi bimbel gue itu memperhatikan dengan heran karena mereka baru melihat gue menangis. Tanpa basa basi lagi dengan teman-teman gue, gue dengan sigap langsung menyambar kunci motor, lalu segera menuju parkiran untuk mengambil sepeda motor matic gue yang gue taro di lahan parkir tersebut. Di perjalanan, tangis gue makin terisak, karena gue ngga tau apa yang harus gue bilang nanti sesampainya gue di rumah.

     Sepeda motor gue gas dengan perlahan ketika sampai di depan gerbang rumah, gue mematikan sepeda motor itu, dan berusaha mengetuk-ngetuk pintu yang terkunci. Tak lama, kunci pintu dibuka dan seorang wanita dengan wajah yang basah dengan air wudhu dan masih memakai mukenah menyambut wajah gue yang dipenuhi mimik basah disertai dengan isakan yang terdengar cukup menyedihkan. Dialah nyokap gue. Ekspresi beliau terlihat terkejut ketika melihat anaknya berdiri di depan pintu sambil sesegukan. Gue diajak duduk di kursi ruang tamu dan gue pun menceritakan semua kejadian yang terjadi di bimbel.

"Ya sudah, kalau memang kebijakannya seperti itu, mau gimana lagi kan? Mau tidak mau kamu yang harus batal pergi ke Malang", kata nyokap gue menenangkan
"Tapi kan ini pertama kali abang liburan ke daerah Jawa, abang nggak pernah diajak liburan kesana, paling paling dulu liburannya kalo engga ke Puncak ya ke Bandung.", balas gue
"Kamu kan tau ini buat masa depan kamu, masa mau mentingin liburan sih? Kan perjuangan belom selesai", sambung bokap gue.

     Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor di depan rumah gue, ternyata, teman-teman gue menyusul gue ke rumah, dan kala itu perasaan gue bener bener illfeel ke mereka. Gue langsung masuk ke kamar dan mengurung diri.

"Assalamualaikooooommmm", Hasya mengucap salam dengan nada dan memperagakan tari Saman, Nadila meringis kesal. Gue yang mendengarnya saja hampir tertawa walaupun dalam keadan yang sangat menyedihkan. Setelah bersalaman dan mengucap salam kepada kedua orang tua gue. Nyokap gue segera mengetuk-ngetuk pintu kamar gue dan segera memanggil gue, tetapi gue tidak menggubrisnya sama sekali. 

"Five minutes! Five minutes, Ray!", rayu nyokap gue yang terlihat tumben menggunakan bahasa Inggris. (Sampai sekarang, kalimat 'five minutes' masih sering diperagakan sama temen-temen gue karena pada saat itu memang nyokap gue lucu banget). Gue akhirnya membuka pintu kamar, dan gue disambut seperti badut, penuh ledekan dan tertawaan. Gue pun duduk di ruang ramu denga posisi paling jauh dari yang lainnya. Teman-teman gue akhirnya menceritakan semua kronologinya dari awal. Nyokap gue pasrah dengan keadaan dan berpendapat ke temen-temen gue bahwa memang sebaiknya gue tidak usah ikut, tetapi teman-teman gue tetap berpegang teguh pada pendiriannya karena, liburan ini kita semua harus full team. Tak lama kemudian, Emira menelepon Nisrina dan mengatakan bahwa Om Sapto (Bapaknya Emira) ingin berbicara dengan gue dan yang lainnya, karena, bisa dibilang Om Sapto sudah membantu kami untuk me manage rencana kami ke Malang, dan juga, Om Sapto sudah mengizinkan kami untuk menginap di rumah saudara beliau, atau Buk De dan Pak De nya Emira.

     Malam itu sudah cukup larut, sudah sekitar pukul 9 malam, kami pun tiba di kediaman Om Sapto, Emira dan adik-adiknya. Om Sapto mulai membuka pembicaraan dengan membahas masalah apa yang sedang gue hadapi dengan bimbel gue tersebut, tidak lupa juga Om Sapto memberi nasihat dan wejangan-wejangan untuk kami semua yang memang akan menghadapi SBMPTN. Gue, Emira, Nadila, dan Nisrina menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan Om Sapto, walaupun dengan keadaan setengah mengantuk. Hasya? Dia sedang sibuk memenuhi Snapchat nya dengan foto dan video kita (terutama gue) saat diberi wejangan oleh Om Sapto. Setelah beberapa wejangan dan nasihat yang beliau berikan, beliau akhirnya memberi saran kepada gue untuk membicarakan kembali masalah perjalanan ke Malang gue ini bersama nyokap dan pihak bimbel. Gue pun menyetujuinya. Kami segera bergegas pulang karena hari sudah larut malam, kami merasa tidak enak dengan Om Sapto karena sudah mengganggu waktu istirahatnya, lalu kami berpamitan kepada Om Sapto untuk pulang.

     Sabtu pagi itu sungguh meresahkan buat gue. Gue sudah membicarakan apa yang sudah direncakan hari ini ke nyokap gue tadi malam, dan beliau menyetujui untuk datang ke bimbel gue siang ini. Gue berangkat bimbel dengan sangat gugup, karena gue ngga tau kalau ini akan berujung baik atau berujung buruk. Dengan lesu, gue mengikuti pelajaran dengan setengah hati dan terus memikirkan masalah tersebut. Biasanya, setelah diberi materi oleh kakak pengajar, murid diberikan post test untuk latihan harian, dan pada hari itu, post test ber subjek Fisika terlihat sangat menyulitkan bagi gue, gue menjawab post test dengan asal-asalan. Bel keluar kelas berbunyi, tanda istirahat, dan gue segera menemui Kakak Kepala Cabang Bimbel untuk menanyakan apakah orangtua saya sudah datang atau belum, dan Kakak Kepala Cabang akhirnya mulai menjelaskan.

"Kamu boleh ke Malang, Han. Tadi mama kamu udah dateng pas kamu lagi di kelas, dan setelah dibincangkan dan konfirmasi dari orangtua kamu, yaudah kakak izinkan kamu untuk pergi ke Malang. Intinya yang penting orangtua kamu memberi konfirmasi ke bimbel."
"Serius kak?? Yang bener?? Makasih banyak ya kak!!", sambut gue tanpa basa basi karena sudah kegirangan
"Tapi, kamu bisa ngga pulangnya lebuh cepet dari rencana? Kan kamu pulang Jumat, kalo kamu pulangnya Rabu atau Kamis gimana?", imbuh si Kakak
"Yah kak, tiketnya udah dipesen PP buat hari itu kak, udah dicetak juga. Ngga bisa kak kayaknya."
"Yaudah, Han. Gapapa. Kalo gitu selamat bersenang-senang ya! Jangan lupa kamu harus ngejar materi yang ketinggalan lho. Kalo bisa pulangnya juga lebih cepet."
"Iyaa kak. Makasih banyak ya!!", sambut gue dengan penuh girang.

Malaaang, i'm coming!!!!!

                                                                                                                        (to be continued...)

P.S. I'm going to share my experience,my photos
and some videos from my trip for the next post!

Part 2: Click Here!!

No comments :

Post a Comment